Sekitar Juni 2008, saya sempat berlibur di Kaliurang. Pagi yang dingin. Setelah menikmati sarapan, saya berjalan-jalan di sekitar penginapan hingga sampai ditempat menara pandang. Dari situ saya bisa menyaksikan puncak Merapi yang masih mengepulkan asap halusnya.
Melihat Merapi dari menara pandang di Kaliurang
|
Rasa yang kuat untuk bisa melihat Merapi lebih dekat, akhirnya mendorong saya untuk mengunjungi Kaliadem.
Diantar oleh Pak Hono (keponakan dari pemilik penginapan Srikandi tempat saya bermalam, sekaligus sebagai guide) akhirnya kami (saya, suami dan pak Hono) sampai juga di lokasi. Saya banyak diceritakan bagaimana peristiwa meletusnya Merapi pada tahun 2006.
Saksi bisu lahar Merapi 2006
|
Kaliadem dengan latar belakang Merapi
|
Setelah melihat-lihat di Kaliadem, dalam perjalanan pulang, kami sempat berbincang dengan Pak Hono mengenai Mbah Maridjan, kebetulan arah pulang kami melewati desanya Mbah Maridjan.
Akhirnya kami coba mampir di kediaman beliau, walaupun sempat pesimis bisa bertemu dengan mbah Maridjan, karena pada saat kami menuju rumahnya, ada seorang penduduk di situ yang mengatakan jika mbah Maridjan kemungkinan sedang tidak ada di rumah dikarenakan ada salah seorang tetangganya yang meninggal dunia, jadi kemungkinan beliau sedang melayat disana.Tapi saya pikir, yah.. tak apalah jika memang tidak ketemu, yang penting saya sekedar tahu rumahnya saja.
Sesampai kami memasuki pekarangan rumah Mbah Maridjan, tak disangka ternyata beliau sedang duduk di kursi sederhana depan rumahnya. Kesan pertama saya bertemu dengan Mbah Maridjan adalah beliau sosok yang sangat sederhana. Langsung ada perasaan enggan dan canggung apalagi ketika kami mulai terlibat perbincangan, karena bingung mesti bicara bagaimana, sementara Pak Hono asik ngobrol dengan Mbah Maridjan dengan bahasa jawanya sementara saya mengerti sedikit bahasa jawa tapi tidak bisa jika harus menjawab dengan bahasa jawa pula. Untungnya Mbah Maridjan mengerti itu, jadi beliau pun dengan saya akhirnya bicara dengan bahasa indonesia.
Sampai saat ini yang selalu saya ingat dari perkataan Mbah Maridjan adalah ketika saya bilang ke beliau
“ Mbah, boleh saya ambil fotonya?”
dengan bahasa kiasan si Mbah bilang
“ Tidak usah difoto, saya ini bukan apa-apa, ibarat badan… ada kepala, ada kaki. RT (Rukun Tetangga) itu ibaratnya sebagai kaki, nah… saya itu masih di bawahnya kaki itu. Jika saya difoto, saya nanti jadi besar kepala”, begitu ucapnya dengan sangat merendah.
Saya sangat mengerti dengan alasan beliau yang memang sangat rendah hati dan tidak mau menjadi terekspos yang bagi kebanyakan orang akan menjadi sombong dan besar kepala jadinya.
Terima kasih Mbah, kata-kata itu sangat berkesan buat saya.
Kini, setelah Merapi kembali terbangun di senja 26 Oktober 2010 entah mengapa saya merasakan bahwa.. Mbah Maridjan seperti sudah saatnya benar-benar akan menyatu dengannya.
Selamat jalan Mbah Maridjan, walaupun saya hanya sekali dan untuk terakhir kali bertemu denganmu, perasaan sedih dan kehilangan yang sangat mendalam tergores didalam hati. Doaku menyertaimu, Mbah. Semoga Mbah Maridjan dan para korban Merapi lainnya mendapatkan tempat yang lapang di sisiNya. Amin.